Pope's Mitre Global Katolik: Situasi Gereja Zaman Modern

Minggu, 27 April 2014

Situasi Gereja Zaman Modern

                Mengamati situasi masyarakat dan Gereja zaman ini

Setiap era baru seyogyanya menghasilkan inovasi, juga di dalam dunia teologi. Tetapi saya mau menekankan kembali kepada pendapat Küng,  bahwa perubahan paradigma tidak berarti kontinuitas dengan paradigma yang lalu telah putus sama sekali. Perubahan paradigma biasanya berarti pergeseran paradigma (paradigm shift). Yang penting bukan merancangkan sesuatu yang sama sekali baru melainkan "menemukan kembali" dan "merumuskan kembali" tradisi sebagai data  yang tersedia.

Apabila kita berbicara mengenai pelayanan Gereja maka umumnya dikemukakan tiga dimensi pelayanan yang juga disebut "tridarma Gereja", yaitu marturia yang umumnya berarti "kesaksian",  koinonia yang umumnya berarti "persekutuan" dan diakonia yang umumnya berarti "pelayanan". Marturia biasanya berhubungan dengan  aspek  ritual dan kesaksian terhadap dunia luar, koinonia dengan aspek institusional dan pembinaan kehidupan bersama, sedangkan diakonia dengan aspek etis dan pelayanan sosial. Dalam perkembangan kemudian di dalam gereja-gereja Protestan tridarma ini sangat dipengaruhi oleh tekanan pada pemberitaan firman Allah sebagai satu-satunya hal yang penting dan mendasar. Batas-batas tridarma akhirnya menjadi kabur dan ditentukan oleh pemberitaan firman. Marturia dipersempit menjadi kesaksian yang berkaitan dengan kebenaran firman Allah, koinonia merupakan persekutuan di sekitar firman Allah, kasarnya kebaktian, sedangkan diakonia menjadi pelayanan firman Allah. Malahan kalau orang di kalangan gereja berbicara mengenai "pelayanan", maka maksudnya bukan diakonia, melainkan "kebaktian/ibadah". Meskipun dalam pembinaan-pembinaan warga gereja tridarma selalu ditekankan, dalam praktik tridarma telah dipersempit menjadi "eka darma", yaitu pemberitaan saja! Penyempitan tridarma yang dikontrol oleh sentralitas pemberitaan firman ini memang perlu diakhiri. Namun yang penting adalah tetap menghargai tridarma ini dan merumuskannya kembali di dalam situasi baru yang telah digambarkan dengan panjang lebar di atas.

Bagaimanakah situasi Gereja di Indonesia dalam situasi baru ini? Kita dapat mengatakan bahwa di Indonesia yang merupakan bagian dari dunia ketiga, gambaran dunia yang dominan adalah gambaran dunia sosial-budaya. Aspirasi masyarakat atau rakyat dianggap mewakili gambaran dunia ini. Teologi harus bisa merangkum aspirasi ini. Kalau tidak maka teologi itu tidak bisa dikatakan teologi yang kontekstual. Maka berteologi secara kontekstual atau kontekstualisasi tidak berarti bagaimana sebuah bangunan mental teologi yang sudah ada (dan seringkali salah dipahami sebagai "iman") diterapkan ke dalam konteks Indonesia, melainkan bagaimana konteks kita di Indonesia melahirkan teologi! Bangunan mental teologi yang saya sebutkan ini lahir dalam konteks perdebatan orang Kristen dengan dunia sains di dunia Barat. Itulah teologi kontekstual Barat. Hasilnya adalah tiga sikap : yang pertama sikap liberal yang terbuka pada perkembangan sains dan pengaruhnya di dalam masyarakat, sedangkan yang kedua adalah sikap konservatif yang terbuka namun bersikap kritis terhadap gambaran dunia sains. Yang ketiga adalah sikap fundamentalistik yang menutup diri terhadap gambaran dunia sains. Meskipun menarik untuk menyimak ketiga sikap ini dalam sejarah perkembangan gereja di Barat, saya mau menekankan bahwa pergumulan gereja di dunia pertama (Barat) tidak sama dengan pergumulan gereja di dunia ketiga (Timur). Maka "perang" yang sering digambarkan di dunia ketiga di antara kaum liberal dan kaum konservatif misalnya merupakan perang aneh, sama seperti ketika orang-orang Indian menyaksikan Inggris dan Perancis berperang memperebutkan daerah-daerah di sekitar danau-danau besar di Amerika Utara di zaman pra-kemerdekaan USA, atau orang-orang kulit hitam menyaksikan "perang Boer" di antara orang Inggris dan orang Belanda di Afrika Selatan pada permulaan abad XX. Kata mereka itu perang "kulit putih". Pokok persoalan dan kepentingannya bukan berasal dari rakyat atau masyarakat setempat, tetapi akhirnya yang menjadi korban terparah adalah rakyat atau masyarakat setempat yang kulitnya tidak putih! Demikian juga "perang teologi" yang diimpor ke dalam situasi dunia ketiga pastilah akan membuat korban berupa  anggota-anggota masyarakat dunia ketiga, entah mereka mengambil sikap liberal, konservatif atau fundamentalis. Bahkan sikap fundamentalistik yang suka digambarkan sebagai perlawanan terhadap gambaran dunia sains, dalam praktik sebenarnya bergerak dengan menggunakan wawasan sains pula. Ia melawan gambaran dunia sains dengan memanfaatkan gambaran dunia sains melalui teori tertentu yang disebut "inerrancy principle", yang dalam bentuknya yang lebih canggih daripada yang sekadar bertahan pada gambaran dunia non-sains, pokoknya berusaha agar teks Alkitab dibaca menurut kaca mata orang yang menerima gambaran dunia sains! Hal ini dapat dibuktikan dengan mengamati ironi berupa penafsiran kitab Kejadian fasal 1-3 yang menyamakan "cakrawala"  (Ibr : haraqia) dengan misalnya lapisan ozoon (hasil penemuan sains) dan durasi penciptaan selama enam hari yang ditafsirkan di antara enam juta sampai enam puluh juta tahun (yang juga merupakan hasil penemuan sains). Kalau tekanan berteologi dalam konteks adalah sekadar menerapkan teologi ke dalam konteks (yang merupakan idea yang amat biasa di kalangan misiologi di Indonesia) maka inter-aksi yang diharapkan dengan realitas sosial-budaya Indonesia justru tidak terjadi, oleh karena persoalan-persoalan dari teologi yang sudah "ready-made" tersebut bukan persoalan-persoalan autentik yang berasal dari gambaran dunia sosial-budaya Indonesia!

 Merefleksikan karya katekese dalam situasi tersebut

Marilah kita mencoba membayangkan bagaimanakah tridarma Gereja akan dirumuskan kembali di dalam kehidupan berjemaat sesuai wawasan gambaran dunia sosial-budaya Indonesia. Dalam kesempatan ini tidak mungkin saya membahas ketiga dimensi tridarma Gereja dengan lengkap. Saya tidak bermaksud meremehkan marturia dan koinonia, namun yang akan saya bahas hanyalah dimensi diakonia saja. Dalam sejarah gereja arti diakonia juga telah mengalami penyempitan. Dari maknanya berupa "pelayanan meja" yang berarti pelayanan sosial oleh pelayan-pelayan khusus yang disebut diakonos (diaken, syamasy) di dalam Kisah Para Rasul, diakonia akhirnya menjadi pelayanan ala kadarnya terhadap beberapa janda, piatu dan "warga rimatan". Tidak ada jumlah yang signifikan dalam anggaran jemaat untuk diakonia, dibandingkan misalnya untuk pembangunan gedung gereja (dimensi marturia - aspek ritual) atau penggajian personalia (dimensi koinonia - aspek institusional). Penyempitan makna ini sudah dikecam oleh teologi pembebasan, yang amat memperhatikan dimensi diakonia - aspek etis dari Gereja. Di dalam wawasan teologi pembebasan, diakonia harus didasari oleh prinsip preferential option for the poor and the weak. Prinsip ini bergerak di atas wawasan keadilan. Maka berkat kecaman teologi pembebasan ini maka secara teoretis banyak orang Kristen di Indonesia sudah tahu bahwa diakonia harus bersifat karitatif, reformatif dan transformatif. Jasa teologi pembebasan dalam perluasan wawasan pemahaman diakonia ini amat besar dan tidak ada maksud saya untuk meremehkannya.

Tetapi sama halnya dengan kekurangan-kekurangan yang sudah disebutkan di atas, penerapan teologi pembebasan dalam konteks Indonesia mengabaikan gambaran dunia sosial-budaya yang mewakili realitas Indonesia. Kebanyakan penganjur teologi pembebasan di Indonesia menerapkan begitu saja teologi pembebasan dari Amerika Latin ke situasi Indonesia dengan asumsi bahwa situasinya sama, yaitu terjadinya ketidakadilan struktural. Maka kita membaca dalam uraian-uraian teologis seperti ini nama-nama yang asing bagi telinga kita, yaitu Gutierrez, De Santa Anna, Bonino, Sobrino dsb. Di Indonesia teologi pembebasan tersebar di lingkungan sekolah-sekolah teologi Kristen (dan Islam!) yang kurang lebih memperhatikan arus yang normatif saja. Yang menjadi keprihatinan mereka hanyalah bagaimana arus yang normatif itu dapat menampung prinsip preferential option for the poor. Jarang ada pertemuan autentik di antara teologi pembebasan dan dunia sosial-budaya Indonesia. Masalahnya adalah bahwa di dalam teologi pembebasan yang diimpor dari Amerika Latin itu tidak ada perangkat yang tersedia untuk itu. Di Amerika Latin teologi pembebasan lahir dan dibesarkan di lingkungan dunia pendatang kulit putih yang beragama Katolik, dan mengabaikan realitas lain berupa penduduk kulit hitam dan Indian serta agama rakyat di sana, yang biasanya dicap sebagai agama sinkretis yang membodohkan serta menina-bobokan rakyat di dalam alam penindasan. Juga kandungan modernitas di dalam teologi pembebasan (yang bisa dikaitkan meskipun tidak boleh diidentikkan dengan teologi politik dari Eropa Barat) menyebabkan pengabaian terhadap religiositas rakyat. Akibatnya, meskipun teologi pembebasan lahir dan dibesarkan di Amerika Latin dan dianggap sebagai sebuah jawaban terhadap pergumulan umat Kristiani di sana, sebagian besar rakyat Amerika Latin malah semakin menjauh dari teologi pembebasan dan cenderung berteologi dengan warna Pantekostal-kharismatis yang kental! Hal ini bukan berarti bahwa rakyat Amerika Latin bersifat konservatif atau vertikalistis, tetapi karena kalangan Pantekostal-kharismatis lebih terbuka pada fenomen berupa agama rakyat. Baru akhir-akhir ini teologi pembebasan di Amerika Latin menyadari pengabaian mereka terhadap gambaran dunia sosial-budaya Amerika Latin, dan barangkali hal itu juga disebabkan oleh karena mereka menerima kritik dari teolog-teolog dunia ketiga lainnya, terutama yang hidup di Asia. Seperti diketahui teolog-teolog Asia lebih peka terhadap potensi-potensi liberatif yang terdapat di dalam religiositas masyarakat.


from: Tugas Sej. Kateketik (Benedictus E.)

Tidak ada komentar: