Mengamati
situasi masyarakat dan Gereja zaman ini
Setiap
era baru seyogyanya menghasilkan inovasi, juga di dalam dunia teologi. Tetapi
saya mau menekankan kembali kepada pendapat Küng, bahwa perubahan paradigma tidak berarti
kontinuitas dengan paradigma yang lalu telah putus sama sekali. Perubahan
paradigma biasanya berarti pergeseran
paradigma (paradigm shift). Yang penting bukan merancangkan sesuatu yang sama
sekali baru melainkan "menemukan kembali" dan "merumuskan
kembali" tradisi sebagai data yang
tersedia.
Apabila
kita berbicara mengenai pelayanan Gereja maka umumnya dikemukakan tiga dimensi
pelayanan yang juga disebut "tridarma Gereja", yaitu marturia yang umumnya berarti
"kesaksian", koinonia yang umumnya berarti
"persekutuan" dan diakonia
yang umumnya berarti "pelayanan". Marturia biasanya berhubungan
dengan aspek ritual dan kesaksian terhadap dunia luar,
koinonia dengan aspek institusional dan pembinaan kehidupan bersama, sedangkan
diakonia dengan aspek etis dan pelayanan sosial. Dalam perkembangan
kemudian di dalam gereja-gereja Protestan tridarma ini sangat dipengaruhi oleh
tekanan pada pemberitaan firman Allah sebagai satu-satunya hal yang penting dan
mendasar. Batas-batas tridarma akhirnya menjadi kabur dan ditentukan oleh
pemberitaan firman. Marturia dipersempit menjadi kesaksian yang berkaitan
dengan kebenaran firman Allah, koinonia merupakan persekutuan di sekitar firman
Allah, kasarnya kebaktian, sedangkan diakonia menjadi pelayanan firman Allah.
Malahan kalau orang di kalangan gereja berbicara mengenai
"pelayanan", maka maksudnya bukan diakonia, melainkan
"kebaktian/ibadah". Meskipun dalam pembinaan-pembinaan warga gereja
tridarma selalu ditekankan, dalam praktik tridarma telah dipersempit menjadi
"eka darma", yaitu pemberitaan saja! Penyempitan tridarma yang
dikontrol oleh sentralitas pemberitaan firman ini memang perlu diakhiri. Namun
yang penting adalah tetap menghargai tridarma ini dan merumuskannya kembali di
dalam situasi baru yang telah digambarkan dengan panjang lebar di atas.
Bagaimanakah
situasi Gereja di Indonesia dalam situasi baru ini? Kita dapat mengatakan bahwa
di Indonesia yang merupakan bagian dari dunia ketiga, gambaran dunia yang
dominan adalah gambaran dunia sosial-budaya. Aspirasi masyarakat atau rakyat
dianggap mewakili gambaran dunia ini. Teologi harus bisa merangkum aspirasi
ini. Kalau
tidak maka teologi itu tidak bisa dikatakan teologi yang kontekstual. Maka
berteologi secara kontekstual atau kontekstualisasi tidak berarti bagaimana
sebuah bangunan mental teologi yang sudah ada (dan seringkali salah dipahami
sebagai "iman") diterapkan ke dalam konteks Indonesia, melainkan
bagaimana konteks kita di Indonesia melahirkan
teologi! Bangunan mental teologi yang saya sebutkan ini lahir dalam konteks
perdebatan orang Kristen dengan dunia sains di dunia Barat. Itulah teologi
kontekstual Barat. Hasilnya adalah tiga sikap : yang pertama sikap liberal yang
terbuka pada perkembangan sains dan pengaruhnya di dalam masyarakat, sedangkan
yang kedua adalah sikap konservatif yang terbuka namun bersikap kritis terhadap
gambaran dunia sains. Yang ketiga adalah sikap fundamentalistik yang menutup
diri terhadap gambaran dunia sains. Meskipun menarik untuk menyimak ketiga
sikap ini dalam sejarah perkembangan gereja di Barat, saya mau menekankan bahwa
pergumulan gereja di dunia pertama (Barat) tidak sama dengan pergumulan gereja
di dunia ketiga (Timur). Maka "perang" yang sering digambarkan di
dunia ketiga di antara kaum liberal dan kaum konservatif misalnya merupakan
perang aneh, sama seperti ketika orang-orang Indian menyaksikan Inggris dan
Perancis berperang memperebutkan daerah-daerah di sekitar danau-danau besar di
Amerika Utara di zaman pra-kemerdekaan USA, atau orang-orang kulit hitam
menyaksikan "perang Boer" di antara orang Inggris dan orang Belanda
di Afrika Selatan pada permulaan abad XX. Kata mereka itu perang "kulit
putih". Pokok persoalan dan kepentingannya bukan berasal dari rakyat atau
masyarakat setempat, tetapi akhirnya yang menjadi korban terparah adalah rakyat
atau masyarakat setempat yang kulitnya tidak putih! Demikian juga "perang
teologi" yang diimpor ke dalam situasi dunia ketiga pastilah akan membuat
korban berupa anggota-anggota masyarakat
dunia ketiga, entah mereka mengambil sikap liberal, konservatif atau
fundamentalis. Bahkan sikap fundamentalistik yang suka digambarkan sebagai
perlawanan terhadap gambaran dunia sains, dalam praktik sebenarnya bergerak
dengan menggunakan wawasan sains pula. Ia melawan gambaran dunia sains dengan
memanfaatkan gambaran dunia sains melalui teori tertentu yang disebut
"inerrancy principle", yang dalam bentuknya yang lebih canggih
daripada yang sekadar bertahan pada gambaran dunia non-sains, pokoknya berusaha
agar teks Alkitab dibaca menurut kaca mata orang yang menerima gambaran dunia sains! Hal ini dapat
dibuktikan dengan mengamati ironi berupa penafsiran kitab Kejadian fasal 1-3
yang menyamakan "cakrawala"
(Ibr : haraqia) dengan
misalnya lapisan ozoon (hasil penemuan sains) dan durasi penciptaan selama enam
hari yang ditafsirkan di antara enam juta sampai enam puluh juta tahun (yang
juga merupakan hasil penemuan sains). Kalau tekanan berteologi dalam konteks
adalah sekadar menerapkan teologi ke dalam konteks (yang merupakan idea yang
amat biasa di kalangan misiologi di Indonesia) maka inter-aksi yang diharapkan
dengan realitas sosial-budaya Indonesia justru tidak terjadi, oleh karena
persoalan-persoalan dari teologi yang sudah "ready-made" tersebut bukan persoalan-persoalan autentik yang
berasal dari gambaran dunia sosial-budaya Indonesia!
Merefleksikan
karya katekese dalam situasi tersebut
Marilah
kita mencoba membayangkan bagaimanakah tridarma Gereja akan dirumuskan kembali
di dalam kehidupan berjemaat sesuai wawasan gambaran dunia sosial-budaya
Indonesia. Dalam kesempatan ini tidak mungkin saya membahas ketiga dimensi
tridarma Gereja dengan lengkap. Saya tidak bermaksud meremehkan marturia dan
koinonia, namun yang akan saya bahas hanyalah dimensi diakonia saja. Dalam
sejarah gereja arti diakonia juga telah mengalami penyempitan. Dari maknanya
berupa "pelayanan meja" yang berarti pelayanan sosial oleh
pelayan-pelayan khusus yang disebut diakonos
(diaken, syamasy) di dalam Kisah Para Rasul, diakonia akhirnya menjadi
pelayanan ala kadarnya terhadap beberapa janda, piatu dan "warga
rimatan". Tidak ada jumlah yang signifikan dalam anggaran jemaat untuk
diakonia, dibandingkan misalnya untuk pembangunan gedung gereja (dimensi
marturia - aspek ritual) atau penggajian personalia (dimensi koinonia - aspek
institusional). Penyempitan makna ini sudah dikecam oleh teologi pembebasan,
yang amat memperhatikan dimensi diakonia - aspek etis dari Gereja. Di dalam wawasan
teologi pembebasan, diakonia harus didasari oleh prinsip preferential option for the poor and the weak. Prinsip ini bergerak
di atas wawasan keadilan. Maka berkat kecaman teologi pembebasan ini maka
secara teoretis banyak orang Kristen di Indonesia sudah tahu bahwa diakonia
harus bersifat karitatif, reformatif dan transformatif. Jasa teologi pembebasan
dalam perluasan wawasan pemahaman diakonia ini amat besar dan tidak ada maksud
saya untuk meremehkannya.
Tetapi
sama halnya dengan kekurangan-kekurangan yang sudah disebutkan di atas,
penerapan teologi pembebasan dalam konteks Indonesia mengabaikan gambaran dunia
sosial-budaya yang mewakili realitas Indonesia. Kebanyakan penganjur teologi
pembebasan di Indonesia menerapkan begitu saja teologi pembebasan dari Amerika
Latin ke situasi Indonesia dengan asumsi bahwa situasinya sama, yaitu
terjadinya ketidakadilan struktural. Maka kita membaca dalam uraian-uraian
teologis seperti ini nama-nama yang asing bagi telinga kita, yaitu Gutierrez,
De Santa Anna, Bonino, Sobrino dsb. Di Indonesia teologi pembebasan tersebar di
lingkungan sekolah-sekolah teologi Kristen (dan Islam!) yang kurang lebih
memperhatikan arus yang normatif saja. Yang menjadi keprihatinan mereka
hanyalah bagaimana arus yang normatif itu dapat menampung prinsip preferential
option for the poor. Jarang ada pertemuan autentik di antara teologi pembebasan dan dunia
sosial-budaya Indonesia. Masalahnya adalah bahwa di dalam teologi pembebasan
yang diimpor dari Amerika Latin itu tidak ada perangkat yang tersedia untuk
itu. Di Amerika Latin teologi pembebasan lahir dan dibesarkan di lingkungan
dunia pendatang kulit putih yang beragama Katolik, dan mengabaikan realitas
lain berupa penduduk kulit hitam dan Indian serta agama rakyat di sana, yang
biasanya dicap sebagai agama sinkretis yang membodohkan serta menina-bobokan
rakyat di dalam alam penindasan. Juga kandungan modernitas di dalam teologi
pembebasan (yang bisa dikaitkan meskipun tidak boleh diidentikkan dengan
teologi politik dari Eropa Barat) menyebabkan pengabaian terhadap religiositas
rakyat. Akibatnya, meskipun teologi pembebasan lahir dan dibesarkan di Amerika
Latin dan dianggap sebagai sebuah jawaban terhadap pergumulan umat Kristiani di
sana, sebagian besar rakyat Amerika Latin malah semakin menjauh dari teologi
pembebasan dan cenderung berteologi dengan warna Pantekostal-kharismatis yang
kental! Hal ini bukan berarti bahwa rakyat Amerika Latin bersifat konservatif
atau vertikalistis, tetapi karena kalangan Pantekostal-kharismatis lebih
terbuka pada fenomen berupa agama rakyat. Baru akhir-akhir
ini teologi pembebasan di Amerika Latin menyadari pengabaian mereka terhadap
gambaran dunia sosial-budaya Amerika Latin, dan barangkali hal itu juga
disebabkan oleh karena mereka menerima kritik dari teolog-teolog dunia ketiga
lainnya, terutama yang hidup di Asia. Seperti diketahui teolog-teolog Asia
lebih peka terhadap potensi-potensi liberatif yang terdapat di dalam
religiositas masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar