Pope's Mitre Global Katolik: Pengetahuan dan Iman

Minggu, 27 April 2014

Pengetahuan dan Iman

Ilmu Pengetahuan dan Iman: Konflik Semu!
Pengantar diskusi di GKI Serpong Jakarta, 23 Juni 2007

Pengantar

Ilmu pengetahuan ‘klasik’ mempunyai logika-nya sendiri. Yang saya maksudkan dengan logika (logika ilmu) adalah cara berpikir ilmiah yang berkembang setelah masa Pencerahan – dengan cirinya: ‘pengagungan’ akal, dan ilmu eksakta menjadi modelnya.

Logika ilmu ini mendasari cara berpikir ilmiah masa lalu (dan rasanya masih banyak diikuti orang sekarang). Dalam cara berpikir ini, metode penelitian dan pengalaman/pembuktian empiris menjadi hal yang ‘wajib’ dan ‘mutlak’. Di bawah pengaruh logika ilmu ini, banyak orang berkesimpulan bahwa sebuah ilmu, juga pengetahuan yang masuk akal dan benar, haruslah bersifat positifistik (terbukti dalam empiri). Iman seringkali dipandang sebagai cara berpikir dan pengetahuan yang tidak ilmiah dan tidak terbukti secara empiris. Karena itu ilmu pengetahuan (dan logika ilmu) sering dipertentangkan dengan iman, terutama yang berkaitan dengan masalah ‘mujijat’.

Ilmu Pengetahuan

Secara sederhana ilmu pengetahuan dapat dikelompokkan dalam dua bidang ilmu: ilmu eksakta dan ilmu humaniora. (catatan: dunia seni masa kini, yang berkaitan dengan ekspresi manusia, tidak saya golongkan dalam bidang ilmu).

Dalam ilmu-ilmu eksakta ‘klasik’, pada umumnya semua teori dipandang serba akurat dan pasti, kecuali untuk beberapa pengecualian (anomali). Salah satunya, yang terkenal, adalah ‘anomali air’. Dari segi teori, pemanasan/pendinginan bahan tertentu akan mempercepat/ memperlambat gerak ion-ion dalam atom bahan itu. Karena itu hampir semua barang yang dipanaskan akan memuai (dan menyusut jika didinginkan), kecuali air yang memang mulai menyusut saat awal pendinginan tetapi pada titik 0o C akan mulai memuai lagi. Dari segi teori anomali ini memang tak bisa dijelaskan, tetapi anomali ini adalah kenyataan tetap (terbukti!) dalam empiri.

Pada sekitar 1970 muncul teori chaos yang membuktikan bahwa dalam empiri, yang terkait dengan bidang ilmu eksakta, ada banyak hal yang tidak terduga. Dalam empiri ternyata ada banyak penyimpangan dari teori, dan tidak semuanya dapat dijelaskan. Sejauh dalam aras abstraksi teori eksakta memang mungkin masih bisa dikatakan akurat dan pasti. Tetapi dalam aras penerapan empiris teori eksakta belum tentu akurat dan pasti. Karena itu haruslah dikatakan juga bahwa ilmu eksakta bukanlah ilmu yang serba akurat dan pasti, melainkan hanyalah ilmu yang berhasil mengabstraksikan/menteorikan gejala-gejala yang pada umumnya terjadi.

Ilmu-ilmu humaniora berkaitan dengan kehidupan manusia dan masyarakatnya yang, dari segi empiri, terbukti sangat kompleks. Karena itu dalam ilmu-ilmu humaniora, yang biasa diteorikan adalah gejala umum. Hal ini tentu saja berarti bahwa bidang ilmu ini mengakui adanya banyak penyimpangan dari teori. Karena sifatnya yang tidak serba akurat dan pasti, sekalipun unsur kompleksitas yang terbukti dalam empiri, ilmu-ilmu humaniora ini dulu (juga sampai sekarang?) sering dipandang sebagai bidang ilmu yang ‘rendah’ (- dianggap belum berhasil menemukan yang yang akurat/pasti?). [catatan: Dalam bidang ilmu yang merupakan ‘kombinasi’ bidang ilmu eksakta dan bidang ilmu humaniora (seperti ilmu kedokteran) penyimpangan ini juga banyak terjadi].

Dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan masa kini cenderung mengakui keterbatasannya dalam mengamati kehidupan manusia dan lingkungannya secara holistik/menyeluruh (apalagi jika ditambahkan unsur adanya super-spesialisasi ilmu masa kini – pada masa kini, kerjasama berbagai bidang ilmu menjadi hal yang bersifat imperatif). Sikap ‘serba akurat dan pasti’ dalam logika ilmu sudah ditinggalkan oleh dunia ilmu masa kini. Pandangan orang masa kini, yang cenderung cepat menarik ‘kesimpulan pasti’ dapat dicurigai berasal dari orang yang sembrono dan subyektif, atau berasal dari orang yang tanpa sadar sudah tenggelam dalam ‘episteme’ zaman, atau seperti yang dikatakan oleh Deshi Ramadhani ‘sudah punya pilihan prinsip/paham tertentu sebelum penelitian tuntas dilakukan.

Iman

Dalam kitab Perjanjian Baru (PB), kata ‘iman’ mempunyai dua unsur pokok: [1] yang terkait dengan ‘penyerahan diri/nasib/hidup’ kepada Allah (bersifat respon) dan [2] yang terkait dengan ‘pengetahuan/isi iman’ (bersifat rumusan hasil refleksi). Iman, dengan kedua unsurnya, tidak pernah merupakan hasil sebuah spekulasi. Iman adalah buah dari empiri yang berkesinambungan dalam hidup seseorang! Hal ini lebih kuat lagi untuk warga jemaat awal yang berlatar belakang Yahudi (catatan: Berbeda dengan orang Timur/India, orang Yahudi mengenal Allah lewat ‘pengalaman dengan Allah’, dan tidak berteori dengan akal berdasar spekulasi!). Dalam PB, yang masih kuat ciri Yahudinya (walau sudah ada usaha kontekstualisasi untuk dunia Yunani), unsur ‘iman yang empiris’ ini masih sangat kuat. Unsur empiris ini dalam PB seringkali diekspresikan dalam bahasa yang memanfaatkan budaya yang ada waktu itu (dalam berbagai pola sastra, dalam bahasa kosmologis Yunani, bahkan juga dalam bahasa ‘mitologis’). Baru kemudian ‘teori ilmiah’ yang bersifat spekulatif muncul dalam gereja-gereja berlatarbelakang Yunani (band. perdebatan sekitar Konsep Allah Tritunggal), tetapi betapapun ‘unsur spekulatif’ ini tetap didasari ‘unsur iman empiris’nya (merupakan usaha pengilmiahan iman – bagi saya: usaha ini memang tidak berhasil sepenuhnya dan hasilnyapun tidak selalu cocok dengan kebutuhan zaman yang terus berubah!).

Gereja dalam sejarahnya mewarisi unsur empiris (yang asli – dengan berbagai cara pengekspresiannya) dan unsur spekulatif yang baru muncul lebih kemudian. Memahami bahasa ekspresi masa lalu (baik dalam PB maupun dalam sejarah gereja yang membuahkan dogma-dogma tertentu) memang tidak selalu mudah (dalam hal inilah ilmu teologi dapat berperan). Tetapi jika unsur empiris, ‘pengalaman dengan Allah’, yang jadi dasar utama, tidak kita lupakan, banyak hal yang membingungkan, atau yang tidak bisa kita pahami dengan akal, tidak perlu mengacaukan iman kita. (Misalnya: Tuhan Yesus sebenarnya bangkit atau tidak? Jika kita sekarang mengalami Tuhan Yesus yang hidup dan tetap menyertai kita, apapun kata/hipotese/’spekulasi ilmiah’ orang lain tidak akan mengganggu iman kita!).

Beberapa gereja dan orang kristen sering punya kesalahan yang sama dengan beberapa orang dari dunia ilmu pengetahuan: punya prinsip/pengetahuan yang dimutlakkan sebelum ia mendengar kesaksian Alkitab dengan baik (tidak melihat holistik berita Alkitab). Mereka dengan cepat  berteori dan berkesimpulan ; misalnya bahwa Allah berkuasa dan pasti akan melepaskan orang yang percaya dari kesulitan/kesusahan dengan kuasaNya yang ajaib. Apa memang betul begitu isi berita utama Alkitab? Apakah tidak kurang berita Alkitab tentang keharusan orang percaya untuk menderita di dunia ini, (bersama dengan orang-orang lain)? Apa berita utama/terpokok Alkitab? Apakah ‘teori’/’kesimpulan’ tadi bukan hanya ekspresi selera-nya sendiri saja (ia tidak mengungkap iman kristen yang benar dan Allah dijadikan ‘budak agung’ demi kepentingan diri)? Masih sejalan dengan hal di atas, beberapa orang kristen mementingkan dan menyerukan adanya mujijat dari Allah, sebagai hal yang harus/pasti terjadi jika syarat tertentu dipenuhi. [Berapakah orang yang tertolong oleh kuasa mujijat dalam kisah Alkitab? dan berapa jumlah orang yang tidak pernah mendapat kuasa mujijat itu – apakah hal ini pernah diperhitungkan?]. Hal inilah yang sering menimbulkan reaksi perlawanan dunia ilmu pengetahuan terhadap iman kristen, dan menganggapnya sebagai ‘kebohongan’ yang tak masuk akal! (padahal iman kristen bukan berpusat pada masalah mujijat macam yang dikatakan itu!).

Penutup

Konflik ilmu pengetahuan dan iman, yang berpusat pada masalah mujijat, berakar pada sikap yang salah baik pada pihak dunia ilmu pengetahuan (terutama dari bidang ilmu eksakta dengan logika ilmu yang serba akurat dan pasti) dan sikap banyak orang kristen yang memutlakkan dan menganggap mujijat sebagai hal yang utama dari iman kristen (yang harus bisa terjadi dalam hidup sehari-hari jka syarat tertentu terpenuhi oleh pihak manusia). Titik pusat konflik itu ada pada hal yang keliru/salah. Karena itu saya berpendapat bahwa konflik antar keduanya adalah konflik semu. Jika orang kristen dengan jujur dan benar menyampaikan pokok berita Alkitab (iman yang disaksikan Alkitab), dan dunia ilmu pengetahuan mengakui keterbatasannya, apakah konflik semu itu akan terjadi!?!

Yogyakarta,  22 Juni 2007
Pdt.  M.W. Wijanto

Tidak ada komentar: