Ilmu
Pengetahuan dan Iman:
Konflik Semu!
Pengantar diskusi di GKI
Serpong Jakarta ,
23 Juni 2007
Pengantar
Ilmu pengetahuan ‘klasik’ mempunyai logika-nya
sendiri. Yang saya maksudkan dengan logika
(logika ilmu) adalah cara berpikir
ilmiah yang berkembang setelah masa Pencerahan – dengan cirinya: ‘pengagungan’
akal, dan ilmu eksakta menjadi modelnya.
Logika ilmu ini mendasari cara berpikir
ilmiah masa lalu (dan rasanya masih banyak diikuti orang sekarang). Dalam cara
berpikir ini, metode penelitian dan pengalaman/pembuktian empiris menjadi
hal yang ‘wajib’ dan ‘mutlak’. Di bawah pengaruh logika ilmu ini, banyak orang
berkesimpulan bahwa sebuah ilmu, juga pengetahuan yang masuk akal dan benar,
haruslah bersifat positifistik (terbukti dalam empiri). Iman seringkali dipandang sebagai cara berpikir dan pengetahuan
yang tidak ilmiah dan tidak terbukti secara empiris. Karena itu ilmu
pengetahuan (dan logika ilmu) sering dipertentangkan dengan iman, terutama yang
berkaitan dengan masalah ‘mujijat’.
Ilmu
Pengetahuan
Secara sederhana ilmu pengetahuan dapat
dikelompokkan dalam dua bidang ilmu: ilmu eksakta dan ilmu humaniora. (catatan:
dunia seni masa kini, yang berkaitan dengan ekspresi manusia, tidak saya
golongkan dalam bidang ilmu).
Dalam ilmu-ilmu eksakta ‘klasik’, pada umumnya semua teori
dipandang serba akurat dan pasti, kecuali untuk beberapa pengecualian (anomali).
Salah satunya, yang terkenal, adalah ‘anomali air’. Dari segi teori,
pemanasan/pendinginan bahan tertentu akan mempercepat/ memperlambat gerak ion-ion
dalam atom bahan itu. Karena itu hampir semua barang yang dipanaskan akan
memuai (dan menyusut jika didinginkan), kecuali air yang memang mulai menyusut
saat awal pendinginan tetapi pada titik 0o C akan mulai memuai lagi.
Dari segi teori anomali ini memang tak bisa dijelaskan, tetapi anomali ini
adalah kenyataan tetap (terbukti!) dalam empiri.
Pada sekitar
1970 muncul teori chaos yang
membuktikan bahwa dalam empiri, yang terkait dengan bidang ilmu eksakta, ada
banyak hal yang tidak terduga. Dalam empiri ternyata ada banyak penyimpangan dari teori, dan tidak semuanya dapat dijelaskan. Sejauh dalam aras abstraksi
teori eksakta memang mungkin masih bisa dikatakan akurat dan pasti. Tetapi
dalam aras penerapan empiris teori eksakta belum tentu akurat dan pasti. Karena
itu haruslah dikatakan juga bahwa ilmu eksakta bukanlah ilmu yang serba akurat
dan pasti, melainkan hanyalah ilmu yang berhasil mengabstraksikan/menteorikan
gejala-gejala yang pada umumnya terjadi.
Ilmu-ilmu humaniora berkaitan dengan
kehidupan manusia dan masyarakatnya yang, dari segi empiri, terbukti sangat
kompleks. Karena itu dalam ilmu-ilmu humaniora, yang biasa diteorikan adalah gejala umum. Hal ini tentu saja berarti
bahwa bidang ilmu ini mengakui adanya banyak penyimpangan dari teori. Karena sifatnya yang tidak serba akurat
dan pasti, sekalipun unsur kompleksitas yang terbukti dalam empiri, ilmu-ilmu
humaniora ini dulu (juga sampai sekarang?) sering dipandang sebagai bidang ilmu
yang ‘rendah’ (- dianggap belum berhasil menemukan yang yang akurat/pasti?). [catatan:
Dalam bidang ilmu yang merupakan ‘kombinasi’ bidang ilmu eksakta dan bidang
ilmu humaniora (seperti ilmu kedokteran) penyimpangan ini juga banyak terjadi].
Iman
Dalam kitab Perjanjian Baru (PB), kata
‘iman’ mempunyai dua unsur pokok: [1] yang terkait dengan ‘penyerahan
diri/nasib/hidup’ kepada Allah (bersifat respon) dan [2] yang terkait dengan
‘pengetahuan/isi iman’ (bersifat rumusan hasil refleksi). Iman, dengan kedua
unsurnya, tidak pernah merupakan hasil sebuah spekulasi. Iman adalah buah dari
empiri yang berkesinambungan dalam hidup seseorang! Hal ini lebih kuat lagi
untuk warga jemaat awal yang berlatar belakang Yahudi (catatan: Berbeda dengan
orang Timur/India, orang Yahudi mengenal Allah lewat ‘pengalaman dengan Allah’,
dan tidak berteori dengan akal berdasar spekulasi!). Dalam PB, yang masih kuat
ciri Yahudinya (walau sudah ada usaha kontekstualisasi untuk dunia Yunani),
unsur ‘iman yang empiris’ ini masih sangat kuat. Unsur empiris ini dalam PB
seringkali diekspresikan dalam bahasa yang memanfaatkan budaya yang ada waktu
itu (dalam berbagai pola sastra, dalam bahasa kosmologis Yunani, bahkan juga
dalam bahasa ‘mitologis’). Baru kemudian ‘teori ilmiah’ yang bersifat
spekulatif muncul dalam gereja-gereja berlatarbelakang Yunani (band. perdebatan
sekitar Konsep Allah Tritunggal), tetapi betapapun ‘unsur spekulatif’ ini tetap
didasari ‘unsur iman empiris’nya (merupakan usaha pengilmiahan iman – bagi
saya: usaha ini memang tidak berhasil sepenuhnya dan hasilnyapun tidak selalu
cocok dengan kebutuhan zaman yang terus berubah!).
Gereja dalam sejarahnya mewarisi unsur
empiris (yang asli – dengan berbagai cara pengekspresiannya) dan unsur
spekulatif yang baru muncul lebih kemudian. Memahami bahasa ekspresi masa lalu
(baik dalam PB maupun dalam sejarah gereja yang membuahkan dogma-dogma
tertentu) memang tidak selalu mudah (dalam hal inilah ilmu teologi dapat
berperan). Tetapi jika unsur empiris, ‘pengalaman dengan Allah’, yang jadi
dasar utama, tidak kita lupakan, banyak hal yang membingungkan, atau yang tidak
bisa kita pahami dengan akal, tidak perlu mengacaukan iman kita. (Misalnya:
Tuhan Yesus sebenarnya bangkit atau tidak? Jika kita sekarang mengalami Tuhan
Yesus yang hidup dan tetap menyertai kita, apapun kata/hipotese/’spekulasi ilmiah’ orang lain tidak akan
mengganggu iman kita!).
Beberapa gereja dan orang kristen sering
punya kesalahan yang sama dengan beberapa orang dari dunia ilmu pengetahuan:
punya prinsip/pengetahuan yang dimutlakkan sebelum ia mendengar kesaksian
Alkitab dengan baik (tidak melihat holistik berita Alkitab). Mereka dengan
cepat berteori dan berkesimpulan ;
misalnya bahwa Allah berkuasa dan pasti akan melepaskan orang yang percaya dari
kesulitan/kesusahan dengan kuasaNya yang ajaib. Apa memang betul begitu isi
berita utama Alkitab? Apakah tidak kurang berita Alkitab tentang keharusan
orang percaya untuk menderita di dunia ini, (bersama dengan orang-orang lain)?
Apa berita utama/terpokok Alkitab? Apakah ‘teori’/’kesimpulan’ tadi bukan hanya
ekspresi selera-nya sendiri saja (ia tidak mengungkap iman kristen yang benar dan
Allah dijadikan ‘budak agung’ demi kepentingan diri)? Masih sejalan dengan hal
di atas, beberapa orang kristen mementingkan dan menyerukan adanya mujijat dari
Allah, sebagai hal yang harus/pasti terjadi jika syarat tertentu dipenuhi. [Berapakah
orang yang tertolong oleh kuasa mujijat dalam kisah Alkitab? dan berapa jumlah
orang yang tidak pernah mendapat kuasa mujijat itu – apakah hal ini pernah
diperhitungkan?]. Hal inilah yang sering menimbulkan reaksi perlawanan dunia
ilmu pengetahuan terhadap iman kristen, dan menganggapnya sebagai ‘kebohongan’
yang tak masuk akal! (padahal iman kristen bukan berpusat pada masalah mujijat
macam yang dikatakan itu!).
Penutup
Konflik ilmu pengetahuan dan iman, yang
berpusat pada masalah mujijat, berakar pada sikap yang salah baik pada pihak dunia
ilmu pengetahuan (terutama dari bidang ilmu eksakta dengan logika ilmu yang
serba akurat dan pasti) dan sikap banyak orang kristen yang memutlakkan dan
menganggap mujijat sebagai hal yang utama dari iman kristen (yang harus bisa
terjadi dalam hidup sehari-hari jka syarat tertentu terpenuhi oleh pihak
manusia). Titik pusat konflik itu ada pada hal yang keliru/salah. Karena itu
saya berpendapat bahwa konflik antar keduanya adalah konflik semu. Jika orang
kristen dengan jujur dan benar menyampaikan pokok berita Alkitab (iman yang
disaksikan Alkitab), dan dunia ilmu pengetahuan mengakui keterbatasannya,
apakah konflik semu itu akan terjadi!?!
Pdt.
M.W. Wijanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar