Pope's Mitre Global Katolik: Kotbah Dies

Minggu, 27 April 2014

Kotbah Dies

Renungan pada pembukaan kapel UKDW, 2 Nopember 2009


APAKAH KERJAMU DI SINI, HAI ELIA?


Bacaan  Alkitab: I Raja-Raja 19:9-18
Pokok: ayat 9, 13b, “Apakah kerjamu di sini, hai Elia?”

Saudara-saudari yang terkasih di dalam Tuhan,

Elia adalah nabi besar yang di dalam I Raja-Raja pasal 18 (sebelum bacaan kita) digambarkan sebagai berjaya dan menang di atas lawan-lawannya. Ia berhasil mengalahkan dan membunuh  450 nabi-nabi Baal di gunung Karmel, yang mewakili sri ratu Izebel, yang meskipun adalah permaisuri, kekuasaannya amat besar dan bahkan melebihi kekuasaan raja Ahab, suaminya, yang waktu itu memerintah di Israel Utara.

Tetapi di dalam pasal 19 sri ratu melakukan pembalasan terhadap Elia. Ia menyuruh orang untuk membunuh Elia. Ketika Elia mendengar rencana ini, ia takut (ayat 3), dan melarikan diri jauh menyeberangi wilayah Israel Utara, masuk ke Yehuda, bahkan masuk ke Bersheba, yang merupakan daerah padang belantara. Sungguh sebuah kontras dengan gambaran yang telah kita lihat di pasal 18. Di sana Elia gagah berani dan menghadapi lawan-lawannya, di sini di pasal 19 ia takut dan lari pontang-panting menyembunyikan diri.

Di padang belantara ia digambarkan putus asa, duduk di bawah sebuah pohon dan kehilangan kehendak untuk hidup. Untung ada malaekat yang datang menolong, membuatkan roti bakar dan menyediakan air minum 1 kendi (ayat 6). Malaekat itu mengingatkan Elia supaya jalan lagi, karena “perjalananmu masih jauh”. Rupanya bukan makanan sembarangan, melainkan makanan malaekat, jadi Elia mendapat kekuatan baru, bisa berjalan 40 hari 40 malam sehingga akhirnya sampai ke gunung Horeb, yang berada di luar Palestina, dan masuk ke dalam sebuah gua.

Gunung Horeb sama dengan gunung Sinai, tempat di mana Tuhan pada zaman dulu kala menyatakan diri kepada umat Israel yang sedang berjalan dari Mesir menuju ke tanah Kana’an, di bawah pimpinan Musa. Mereka berhenti di gunung Sinai, dan di situ Tuhan memberikan kesepuluh hukum atau Dasa Titah kepada Musa, disertai dengan fenomena alam yang gegap gempita, seperti gempa bumi, api yang bernyala-nyala dan angin puting-beliung. Sekarang kita dapat menduga mengapa malaekat membimbing dia ke Horeb, yaitu supaya ia terkenang kembali kepada penyataan Tuhan yang dulu itu, dan mendapat kekuatan daripadanya. Perjalanan melarikan diri berubah menjadi ziarah ke tempat suci dalam rangka mendapatkan kekuatan baru.

Tetapi di dalam ziarah ini Elia tidak mendapatkan nostalgia pengalaman nenek moyang, melainkan juga pengalaman baru yang tidak terduga. Elia merasa dirinya berziarah, tetapi tentu kaget mendengar sapaan Tuhan yang kedengarannya seperti menegur: “apa kerjamu di sini, hai Elia?” Apa kerjaku? ‘Kan aku lagi mengunjungi Engkau, menghadap ke hadiratMu? Kok ditanya seperti itu? Malah dua kali ditanya seperti itu!

Elia berusaha menjawab dalam kerangka pertanyaan Tuhan. Ia mengajukan komplain: “Aku sudah bekerja setengah mati, tetapi tidak ada hasilnya. Semua habis,  tinggal aku sendiri saja, dan itupun sebentar lagi aku dibunuh oleh Izebel”. Di balik komplain ini ada kerinduan, supaya Tuhan bertindak seperti dulu, menyatakan Diri, bertiwikrama dengan maha dahsyat, supaya musuh takut dan lari terceraiberai. Sekaligus ada nada sindiran kepada Tuhan, yang tidak memperlihatkan kuasanya yang luarbiasa itu, sehingga keadaan Elia memelas seperti itu.

Tuhan mengantisipasi kerinduan Elia, dan menyuruh dia keluar dari gua persembunyiannya, berdiri di atas gunung untuk menyaksikan penyataan atau wahyu yang ingin ia saksikan. “Maka Tuhan lalu!” (ayat 11b). Ada angin besar dan kuat membelah gunung dan memecah batu, tetapi Tuhan tidak ada di dalam angin. Kemudian terjadi gempa yang hebat, tetapi Tuhan tidak ada di dalam gempa. Kemudian ada api bernyala-nyala, tetapi Tuhan tidak ada di dalam api. Kita jangan menafsirkan ayat-ayat ini sebagai perbedaan Tuhan dari alam, sebab konteksnya adalah pemahaman Elia mengenai wahyu Tuhan dulu kala di Sinai, yang disertai dengan fenomena alam. Di dalam Perjanjian Lama  gejala fenomena alam hampir selalu menyertai kehadiran Tuhan. Tetapi kali ini tidak. Ada fenomena alam, tetapi Tuhan tidak ada!

Yang ada ialah “bunyi angin sepoi-sepoi basa” (ayat 12). Angin sepoi-sepoi basa hampir-hampir seperti tidak ada: efeknya yang ada, yaitu kita merasa isis, sumilir dan membuat kita mengantuk. Enak to?  Hampir-hampir tidak kedengaran, tetapi Elia mendengarnya dan sadar bahwa Tuhan ada di situ. Ia kembali komplain, tetapi jawaban yang diperoleh bukan seperti yang ia harapkan, yaitu supaya kejayaannya kembali seperti yang dilaporkan di pasal 18, tetapi supaya dia pergi mempersiapkan penggantinya, yaitu Elisa.

Angin sepoi-sepoi basa merupakan pertanda bahwa Tuhan tidak terikat pada fenomena yang gegap gempita, yang mendahsyatkan, yang luar biasa. Ia juga bisa hadir secara biasa-biasa saja. Ia bisa muncul sebagai Allah yang luar biasa, tetapi bisa juga seperti Allah yang biasa, dalam angin sepoi-sepoi. Kalau kita tidak siap terhadap hal ini, jangan-jangan Tuhan sudah lewat di depan kita, tetapi kita tidak tahu atau tidak sadar, karena kita mengharapkan yang gegap gempita dan luar biasa seperti mujizat itu!

Kalau begitu hidup Eliapun tidak perlu selalu penuh mujizat dan luar biasa. Iapun perlu belajar menerima kenyataan bahwa hidupnya biasa-biasa saja, dan selanjutnya akan biasa-biasa saja. Ziarah ke hadirat Tuhan menghasilkan penerimaan terhadap kenyataan pekerjaan si Elia dan pentingnya melangsungkan kontinuitas pekerjaan dengan jalan mempersiapkan kader, si Elisa, yang nanti akan menggantikannya. Proses pengkaderan kelihatannya rutin dan membosankan, tetapi itu yang perlu dijalankan supaya pekerjaan kita dapat berjalan terus, dan semoga dengan proses tsb pekerjaan Tuhan juga bisa berjalan terus.

Saudara-saudari yang terkasih di dalam Tuhan,

Kita berkumpul di sini untuk merayakan peresmian kapel baru UKDW. Tentu ada maksud khusus mengapa kapel dibuat. Bukan sekadar tanda bahwa universitas ini adalah universitas Kristen, tetapi sebuah simbol, bahwa Tuhan (diharapkan) hadir di situ, dan kita rela memberikan sebuah ruangan (space) di tengah kesempitan ruangan UKDW ini, supaya simbol itu dapat direalisasikan. Kapel ini menjadi tanda bahwa di tengah kesibukan dan pekerjaan kita, Tuhan hadir di tengah-tengah kita dan menyertai kita. Sebaliknya, secara teratur kita datang ke kapel ini, ke hadirat Tuhan, untuk berziarah, memohon kekuatan di dalam menjalani tugas dan panggilan kita masing-masing. Mungkin juga kita ingin curhat di hadapan Tuhan, komplain mengenai keadaan kita yang lagi memelas, dan secara tidak langsung, sama seperti Elia, kita menyindir Tuhan yang tidak memperlihatkan kekuasaannya yang luar biasa itu, sehingga kita menjadi memelas seperti ini.

 Tetapi bayangkanlah kalau tiba-tiba Tuhan bertanya kepada kita yang lagi asyik beribadat, berdoa dan berziarah di hadapanNya ini, “APA KERJAMU DI SINI”? Apa kerjaku? Ya, mau minta kuasamu bekerja ya Tuhan. Jadi jangan tanya apa kerjamu, tetapi malah aku yang mau bertanya kepadaMu ya Tuhan, apa kerjaMu? Justru pertanyaan kita itu yang salah, sedangkan pertanyaan Tuhan yang benar. Hadirat Tuhan merupakan anugerah bagi kita untuk merenungkan pekerjaan, pelayanan dan panggilan kita, dan dalam perenungan ini kita boleh minta tolong kepada Tuhan supaya memberi kekuatan kepada kita. Tetapi kita tidak bisa minta mujizat kepada Tuhan agar kita dihindarkan dari tantangan-tantangan pekerjaan yang kita hadapi. Pekerjaan dan tantangan itu satu, kalau tidak mau ada tantangan, ya jangan bekerja. Bukannya tidak ada mujizat, kita semua percaya pada mujizat, tetapi mujizat ada di dalam hal-hal biasa, sama seperti Tuhan ada di dalam angin sepoi-sepoi basa.

Kapel adalah simbol kehadiran Tuhan, yang kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari yang biasa-biasa saja, yang rutin. Tetapi justru itu yang luar biasa. Maka marilah kita bekerja dengan riang, dan semoga kita tidak ditanya oleh Tuhan: apa kerjamu di sini… Amin.


Pdt. Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D.
Wisma “Labuang Baji”, Yogyakarta.






Tidak ada komentar: