Renungan pada pembukaan kapel UKDW,
2 Nopember 2009
APAKAH KERJAMU DI SINI, HAI ELIA?
Bacaan
Alkitab: I Raja-Raja 19:9-18
Pokok:
ayat 9, 13b, “Apakah kerjamu di sini, hai Elia?”
Saudara-saudari
yang terkasih di dalam Tuhan,
Elia
adalah nabi besar yang di dalam I Raja-Raja pasal 18 (sebelum bacaan kita)
digambarkan sebagai berjaya dan menang di atas lawan-lawannya. Ia berhasil
mengalahkan dan membunuh 450 nabi-nabi Baal di gunung Karmel, yang
mewakili sri ratu Izebel, yang meskipun adalah permaisuri, kekuasaannya amat
besar dan bahkan melebihi kekuasaan raja Ahab, suaminya, yang waktu itu
memerintah di Israel Utara.
Tetapi di
dalam pasal 19 sri ratu melakukan pembalasan terhadap Elia. Ia menyuruh orang
untuk membunuh Elia. Ketika Elia mendengar rencana ini, ia takut (ayat
3), dan melarikan diri jauh menyeberangi wilayah Israel Utara, masuk ke Yehuda,
bahkan masuk ke Bersheba, yang merupakan daerah padang belantara. Sungguh
sebuah kontras dengan gambaran yang telah kita lihat di pasal 18. Di sana Elia gagah berani dan
menghadapi lawan-lawannya, di sini di pasal 19 ia takut dan lari
pontang-panting menyembunyikan diri.
Di padang belantara ia
digambarkan putus asa, duduk di bawah sebuah pohon dan kehilangan kehendak
untuk hidup. Untung ada malaekat yang datang menolong, membuatkan roti bakar
dan menyediakan air minum 1 kendi (ayat 6). Malaekat itu mengingatkan Elia
supaya jalan lagi, karena “perjalananmu masih jauh”. Rupanya bukan makanan
sembarangan, melainkan makanan malaekat, jadi Elia mendapat kekuatan baru, bisa
berjalan 40 hari 40 malam sehingga akhirnya sampai ke gunung Horeb, yang berada
di luar Palestina, dan masuk ke dalam sebuah gua.
Gunung
Horeb sama dengan gunung Sinai, tempat di mana Tuhan pada zaman dulu kala
menyatakan diri kepada umat Israel
yang sedang berjalan dari Mesir menuju ke tanah Kana’an, di bawah pimpinan
Musa. Mereka berhenti di gunung Sinai, dan di situ Tuhan memberikan kesepuluh
hukum atau Dasa Titah kepada Musa, disertai dengan fenomena alam yang gegap
gempita, seperti gempa bumi, api yang bernyala-nyala dan angin puting-beliung.
Sekarang kita dapat menduga mengapa malaekat membimbing dia ke Horeb, yaitu
supaya ia terkenang kembali kepada penyataan Tuhan yang dulu itu, dan mendapat
kekuatan daripadanya. Perjalanan melarikan diri berubah menjadi ziarah ke
tempat suci dalam rangka mendapatkan kekuatan baru.
Tetapi di
dalam ziarah ini Elia tidak mendapatkan nostalgia pengalaman nenek moyang,
melainkan juga pengalaman baru yang tidak terduga. Elia merasa dirinya berziarah,
tetapi tentu kaget mendengar sapaan Tuhan yang kedengarannya seperti menegur:
“apa kerjamu di sini, hai Elia?” Apa kerjaku? ‘Kan aku lagi mengunjungi Engkau, menghadap
ke hadiratMu? Kok ditanya seperti itu? Malah dua kali ditanya seperti itu!
Elia berusaha
menjawab dalam kerangka pertanyaan Tuhan. Ia mengajukan komplain: “Aku sudah
bekerja setengah mati, tetapi tidak ada hasilnya. Semua habis, tinggal
aku sendiri saja, dan itupun sebentar lagi aku dibunuh oleh Izebel”. Di balik
komplain ini ada kerinduan, supaya Tuhan bertindak seperti dulu, menyatakan
Diri, bertiwikrama dengan maha dahsyat, supaya musuh takut dan lari
terceraiberai. Sekaligus ada nada sindiran kepada Tuhan, yang tidak
memperlihatkan kuasanya yang luarbiasa itu, sehingga keadaan Elia memelas
seperti itu.
Tuhan
mengantisipasi kerinduan Elia, dan menyuruh dia keluar dari gua
persembunyiannya, berdiri di atas gunung untuk menyaksikan penyataan atau wahyu
yang ingin ia saksikan. “Maka Tuhan lalu!” (ayat 11b). Ada angin besar dan kuat membelah gunung dan
memecah batu, tetapi Tuhan tidak ada di dalam angin. Kemudian terjadi
gempa yang hebat, tetapi Tuhan tidak ada di dalam gempa. Kemudian ada
api bernyala-nyala, tetapi Tuhan tidak ada di dalam api. Kita jangan
menafsirkan ayat-ayat ini sebagai perbedaan Tuhan dari alam, sebab konteksnya
adalah pemahaman Elia mengenai wahyu Tuhan dulu kala di Sinai, yang disertai
dengan fenomena alam. Di dalam Perjanjian Lama gejala fenomena alam
hampir selalu menyertai kehadiran Tuhan. Tetapi kali ini tidak. Ada fenomena alam, tetapi
Tuhan tidak ada!
Yang ada
ialah “bunyi angin sepoi-sepoi basa” (ayat 12). Angin sepoi-sepoi basa
hampir-hampir seperti tidak ada: efeknya yang ada, yaitu kita merasa isis , sumilir dan membuat kita mengantuk. Enak to?
Hampir-hampir tidak kedengaran, tetapi Elia mendengarnya dan sadar bahwa Tuhan
ada di situ. Ia kembali komplain, tetapi jawaban yang diperoleh bukan
seperti yang ia harapkan, yaitu supaya kejayaannya kembali seperti yang
dilaporkan di pasal 18, tetapi supaya dia pergi mempersiapkan penggantinya,
yaitu Elisa.
Angin
sepoi-sepoi basa merupakan pertanda bahwa Tuhan tidak terikat pada fenomena
yang gegap gempita, yang mendahsyatkan, yang luar biasa. Ia juga bisa hadir
secara biasa-biasa saja. Ia bisa muncul sebagai Allah yang luar biasa, tetapi
bisa juga seperti Allah yang biasa, dalam angin sepoi-sepoi. Kalau kita tidak
siap terhadap hal ini, jangan-jangan Tuhan sudah lewat di depan kita, tetapi
kita tidak tahu atau tidak sadar, karena kita mengharapkan yang gegap gempita
dan luar biasa seperti mujizat itu!
Kalau
begitu hidup Eliapun tidak perlu selalu penuh mujizat dan luar biasa. Iapun
perlu belajar menerima kenyataan bahwa hidupnya biasa-biasa saja, dan
selanjutnya akan biasa-biasa saja. Ziarah ke hadirat Tuhan menghasilkan
penerimaan terhadap kenyataan pekerjaan si Elia dan pentingnya melangsungkan
kontinuitas pekerjaan dengan jalan mempersiapkan kader, si Elisa, yang nanti
akan menggantikannya. Proses pengkaderan kelihatannya rutin dan membosankan,
tetapi itu yang perlu dijalankan supaya pekerjaan kita dapat berjalan terus,
dan semoga dengan proses tsb pekerjaan Tuhan juga bisa berjalan terus.
Saudara-saudari
yang terkasih di dalam Tuhan,
Kita
berkumpul di sini untuk merayakan peresmian kapel baru UKDW. Tentu ada maksud
khusus mengapa kapel dibuat. Bukan sekadar tanda bahwa universitas ini adalah
universitas Kristen, tetapi sebuah simbol, bahwa Tuhan (diharapkan) hadir di
situ, dan kita rela memberikan sebuah ruangan (space) di tengah kesempitan
ruangan UKDW ini, supaya simbol itu dapat direalisasikan. Kapel ini menjadi
tanda bahwa di tengah kesibukan dan pekerjaan kita, Tuhan hadir di
tengah-tengah kita dan menyertai kita. Sebaliknya, secara teratur kita datang
ke kapel ini, ke hadirat Tuhan, untuk berziarah, memohon kekuatan di dalam
menjalani tugas dan panggilan kita masing-masing. Mungkin juga kita ingin
curhat di hadapan Tuhan, komplain mengenai keadaan kita yang lagi memelas, dan
secara tidak langsung, sama seperti Elia, kita menyindir Tuhan yang tidak memperlihatkan
kekuasaannya yang luar biasa itu, sehingga kita menjadi memelas seperti ini.
Tetapi
bayangkanlah kalau tiba-tiba Tuhan bertanya kepada kita yang lagi asyik
beribadat, berdoa dan berziarah di hadapanNya ini, “APA KERJAMU DI SINI”? Apa
kerjaku? Ya, mau minta kuasamu bekerja ya Tuhan. Jadi jangan tanya apa kerjamu,
tetapi malah aku yang mau bertanya kepadaMu ya Tuhan, apa kerjaMu? Justru
pertanyaan kita itu yang salah, sedangkan pertanyaan Tuhan yang benar. Hadirat
Tuhan merupakan anugerah bagi kita untuk merenungkan pekerjaan, pelayanan dan
panggilan kita, dan dalam perenungan ini kita boleh minta tolong kepada Tuhan
supaya memberi kekuatan kepada kita. Tetapi kita tidak bisa minta mujizat
kepada Tuhan agar kita dihindarkan dari tantangan-tantangan pekerjaan yang kita
hadapi. Pekerjaan dan tantangan itu satu, kalau tidak mau ada tantangan, ya
jangan bekerja. Bukannya tidak ada mujizat, kita semua percaya pada mujizat,
tetapi mujizat ada di dalam hal-hal biasa, sama seperti Tuhan ada di dalam
angin sepoi-sepoi basa.
Kapel
adalah simbol kehadiran Tuhan, yang kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari
yang biasa-biasa saja, yang rutin. Tetapi justru itu yang luar biasa. Maka
marilah kita bekerja dengan riang, dan semoga kita tidak ditanya oleh Tuhan:
apa kerjamu di sini… Amin.
Pdt. Prof.
Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D.
Wisma
“Labuang Baji”, Yogyakarta .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar